Untuk memahami apa itu konversi traffic website, coba kita mulai dengan pertanyaan. Pernah mendengar cerita implementasi SEO yang sukses mendapatkan ranking tinggi dan aliran traffic melimpah tetap perusahaan pemilik website tidak mendapatkan keuntungan apa-apa? Websitenya ramai pengunjung tapi sepi pembeli. Pengunjung yang datang banyak, tapi mereka tidak membeli. Mereka datang dan pergi begitu saja. Nggak keluar duit dan bawa pulang belanjaan.

Kalau sudah begini investasi entah dalam bentuk uang, waktu, pikiran, tenaga, jadi sia-sia. Karena apapun dalam bisnis, ukuran akhirnya adalah ROI, Return on Investment. Hebat punya ranking tinggi di Google. Keren juga lah punya website yang traffic-nya tinggi. Tapi kalau tidak menghasilkan uang apa artinya?

“Itu investasi yang dikeluarkan untuk SEO balik modal apa nggak?”

Apa Itu Konversi Traffic Website?

Konversi traffic website alias web traffic conversion terjadi saat pengunjung website melakukan apa yang kita ingin mereka di dalam website. Contoh yang paling sederhana, untuk website toko online, pengunjung itu melakukan transaksi pembelian. Mebeli produk yang kita jual melalui website dimaksud. Pastinya transaksi ini harus selesai dari awal sampai akhir, sampai menyelesaikan pembayaran.

Konversi Sesuai Model Bisnis

Model bisnis online berbeda-beda. Untuk model bisnis toko online, transaksi pembelian menjadi ukuran logis. Untuk model bisnis lain, kita harus kembali ke definisi di atas “… pengunjung website melakukan apa yang kita ingin mereka lakukan …”

Saat pengunjung website melakukan apa yang kita ingin mereka lakukan, artinya konversi sudah terjadi.

Contoh-contoh tindakan pengunjung yang dapat dijadikan acuan konversi diantaranya:

  • Untuk website perbankan, membuka rekening.
  • Untuk website perusahaan asuransi, mengisi formulir permintaan penawaran.
  • Untuk website yang ditujukan khusus untuk mecari pendapatan dari Google AdSense, click iklan.
  • Untuk website yang dibuat dengan tujuan membangun brand image, membagikan melalui akun sosial media sudah bisa dianggap sebagai konversi.
  • Dan masih banyak contoh lainnya.

Bagaimana cara Mengukur Konversi Traffic Website?

Setelah tahu apa itu konversi traffic website dan jenis-jenisnya sesuai model bisnis yang kita jalankan melalui website, tentu pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara mengukur konversi traffic website itu sendiri.

Parameter untuk mengukur keberhasilan dari sisi konversi traffic website adalah rasio konversi alias conversion rate. Cara menghitungnya gampang saja. Jumlah pengunjung yang terkonversi, dibagi dengan jumlah pengunjung keseluruhan, dikali 100 supaya hasil akhirnya berbentuk prosentase.

Agar lebih memudahkan kita menilai keberhasilan, perhitungan rasio konversi harus dilakukan dengan membatasi per periode. Harian, mingguan, bulanan, tahunan, dll.

Contoh, dari statistik kita mendapati bahwa pengunung website toko online kita dalam satu bulan terakhir adaiah 10.000 sementara yang melakukan pembelian dan membayar apa yang dibelinya adalah 500 orang. Rasio konversinya adalah (500 / 10.000) x 100 = 5%.

Berapa Rasio Konversi yang Bagus?

Sekarang kita sudah tahu apa itu konversi traffic website, tindakan pengunjung yang dapat dikategorikan sebagai konversi, dan cara menghitung rasio konversi. Giliran kita menghitung rasio konversi untuk website kita. Sudah dapat angkanya, lalu kita akan mulai bertanya-tanya. Itu angka termasuk bagus, biasa-biasa saja, atau malah jelek?

Sayangnya memang acuan sahih yang bisa dijadikan standar memang tidak ada.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi, misalnya:

  • Jenis produk.
  • Industri dimana perusahaan kita bergerak.
  • Siklus penjualan pada perusahaan kita.
  • Struktur biaya.
  • Dan banyak lagi faktor lainnya.

Yang paling realistis adalah menghubungkannya dengan parameter-parameter finansial. Apakah dengan rasio konversi yang anda baru hitung itu anda mendapatkan keuntungan? Jangan lupa saat kita bicara keuntungan disini bukan hanya harus memperhitungkan harga jual v.s. harga pokok produksi, tapi juga biaya yang dikeluarkan untuk operasional website, SEO, dan lain-lain yang kemudian menghasilkan konversi itu.

Tapi kalau anda ingin “ancer-ancer” saja, Adoric, sebuah perusahaan konsultan yang secara khusus bergerak di bidang optimasi konversi bisa menjadi panduan. Misalnya menurut studi Adoric, rasio konversi untuk toko online alias ecommerce berada di kisaran 1,84% sampai 6,25%, sementara angka tengahnya adalah 3,71%. Jadi kalau website anda ecommerce dan rasio konversinya berada di angka 6,25% atau lebih, itu sudah hebat banget.

Lengkapnya bisa diakses disini.

Cara Meningkatkan Rasio Konversi

Banyak pakar dan konsultan SEO mengatakan kalau sejatinya konversi itu bukan lagi urusan SEO. Tugas SEO adalah mengalirkan traffic. Itu pernyataan yang terlalu menyederhanakan masalah. Memang salah satu langkah menyelesaikan masalah adalah mengurainya menjadi bagian-bagian kecil yang lebih sederhana sehingga lebih mudah diselesaikan satu-per-satu. Tapi bukan dengan membuat sesuatu yang rumit seolah-olah terlihat sederhana. Itu menyesatkan.

Harus digarisbawahi bahwa kualitas traffic tinggi yang masuk ke dalam website itu turut menentukan rasio konversinya. Saat kita menemukan rasio konversi website kita rendah, kita juga tetap harus melihat ke belakang. Apakah kualitas traffic yang rendah menjadi penyebab rendahnya rasio konversi. Kalau benar berarti ada yang salah dengan SEO-nya. Adagium garbage-in-garbage-out juga berlaku disini.

Traffic bukan hanya soal kuantitas tapi juga kualitas. Salah satu parameter paling relevan untuk mengukur kualitas traffic yang dihasilkan SEO dan metode-metode lain adalah rasio konversi.

Sementra itu rendahnya rasio konversi bukan hanya persoalan SEO saja. Di satu sisi SEO, tapi di sisi lain ada bagaimana traffic yang masuk diolah juga turut menentukan rasio konversi. Disini kita akan mencoba melihat faktor-faktor yang terlibat dalam mengolah traffic dan apa yang harus diperbaiki supaya rasio konversi meningkat.

1. Interaksi Pengunjung di Dalam Website

Ada banyak faktor yang membuat pengunjung merasa nyaman dan memutuskan melakukan apa yang kita inginkan di dalam website kita. Ambilah contoh ec0mmerce, memutuskan untuk membeli produk yang diperlukannya dari website kita alih-alih keluar lagi dan mencari di website-website lain.

Memang faktor produk dan harga mungkin sangat dominan dalam pengambilan keputusan pengunjung website, tapi kemudahan dalam proses dari mulai memilih sampai membayar juga tidak kalah pentingnya.

Jadi kalau kita merasa rasio konversi terlalu rendah, bisa jadi kita perlu mengevaluasi design website.

Istilah teknisnya User Experience yang lebih sering disebut dalam bentuk singatannya, UX, merupakan faktor yang sangat esensial dan sangat menentukan apakah pengunjung website akan tinggal lebih lama dan melakukan apa yang kita inginkan atau malah kabur dan nggak balik-balik lagi.

Dengan menganalisa perilaku pengunjung website kita bisa melihat di titik mana mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan aktivitasnya dan memilih untuk keluar. Bisa saja mereka bingung, misalnya sulit menemukan tombol atau link untuk melanjutkan proses yang sedang mereka ikuti. Contoh kasus sederhananya misalnya mereka sudah memilih produk yang ingin dibeli lalu kebingungan mencari tombol untuk memproses pembayaran.

Menganalisa bagaimana pengguna berinteraksi dengan setiap bagian dari website membantu kita untuk melakukan perbaikan yang diperlukan sehingga user experience lebih baik dan rasio konversi meningkat.

2. Call to Action Harus Jelas

Call to action merujuk pada instruksi kepada pengunjung untuk melakukan apa yang kita ingin mereka lakukan. Instruksinya harus jelas, begitu juga cara melaksanakannya. Misalnya untuk website ecommerce, harus jelas kalau yang kita ingin mereka membeli, tombol untuk membeli harus mudah dilihat. Kalau tidak pengunjung bisa saja mengira website kita hanya berisi katalog atau review, tidak menjual.

Dalam hal ini kalau mereka hanya muter-muter, baca-baca, tapi tidak membeli, mungkin karena mereka tidak tahu kalau kita menjual produk-produk yang informasinya mereka lihat itu.

Kalau anda memiliki traffic tinggi, pengunjung tidak langsung keluar lagi dan banyak muter-muter di dalam, tapi tidak membeli, mungkin call-to-action ini yang perlu dievaluasi.

3. Navigasi Website Harus Sesederhana Mungkin

Soal ini sebetulnya sudah menjadi bahasan sejak puluhan tahun lalu. Buku berjudul “Don’t Make Me Think” karangan Steve Krug yang membahas bagaimana website harus dibuat sesederhana mungkin sehingga pengunjung bisa melakukan semua yang perlu mereka lakukan tanpa harus berfikir terlebih dahulu, terbit pada tahun 2000. Sudah lebih dari 20 tahun.

Meskipun “Don’t Make Me Think” bisa dikategorikan buku klasik, isinya masih sangat relevan. Apalagi sekarang ada edisi “revisited”-nya. Bukunya bisa dibeli disini. Versi Bahasa Indonesianya juga ada.

Pengunjung website harus bisa dengan mudah menemukan informasi yang mereka perlukan. Kalau website kita ecommerce, pengunjung harus bisa dengan mudah menemukan produk yang mereka perlukan. Setelah mereka menemukannya, proses membeli dan membayar juga harus sederhana dan mudah.

Studi menyebutkan kalau 89% pengunjung website memutuskan untuk membeli produk yang mereka butuhkan dari website kompetitor gara-gara user experience yang buruk.

4. Mobile Friendly itu Wajib

Riset yang dilakukan tahun 2020 lalu menunjukkan bahwa 71.1% pengunjung website menggunakan gadget alias mobile device, smartphone dan tablet. Hanya 28,9% yang menggunakan perangkat komputer, baik desktop maupun laptop. Kalau website kita tidak mobile friendly, artinya kita hanya kebagian kurang dari sepertiga bagian dari keseluruhan potensi pasar yang ada.

Para pengguna gadget tidak akan merasa nyaman mengakses website yang tidak mobile-friendly. Selain itu Google sendiri tidak akan merekomendasikan website yang tidak mobile friendly kepada pengguna search engine yang meggunakan gadget.

Kalau seorang pengguna gadget melakukan pencarian melalui Google, website-website yang tidak mobile-friendly tidak akan ditampilkan pada daftar hasil pencarian. Kalaupun ditampilkan, rankingnya jauh banget.

Cara membuat website mobile-friendly:

  • Gunakan design “responsive”: Keistimewaan design responsive adalah kemampuannya untuk mengadaptasi tampilan pada perangkat berbeda yang memiliki ukuran layar yang berbeda pula. Website yang mengadopsi design responsive tampilannya akan tetap enak dilihat baik pada layar komputer yang besar dan melebar maupun layar gadget yang jauh lebih kecil dan meninggi.
  • Website harus “ramah jempol”: Dalam dunia web design ada istilah baru “thumb friendly”. Istilah ini merujuk pada cara pengguna gadget bernavigasi pada perangkatnya. Kalau pengguna komputer mengginakan dua tangan dan 10 jari baik pada keyboard, trackpad, atau mouse, pengguna gadget cenderung memegang gadget dengan satu tangan dan bernavigasi dengan satu jari saja, jempol. Karena saat kita memegang gadget dengan satu tangan, hanya jempol yang bisa menyentuh layar sementara 4 jari lain berada di belakang.
  • Sesuaikan ukuran “font”: Font merujuk pada jenis huruf. Saat merancang website, pastikan kita memilih jenis font yang jelas untuk dibaca dan ukuran yang cukup besar untuk bisa dibaca dengan mudah pada layar gadget yang jauh lebih kecil dari komputer.

5. Permudah Konversi

Kalau kita menginginkan konversi, kita harus membuat konversi lebih mudah terjadi. Jangan membuat proses berbelit-belit sehingga menghambat konversi. Misalnya, kalau kita menjual produk digital yang cukup dengan mendownload dari link yang dikirim ke alamat email pembeli, dalam proses pembelian jangan menyuruh pengguna untuk memberikan alamat segala. Bahkan nama lengkap pun tidak diperlukan. Cukup minta alamat email supaya link download bisa dikirim.